Hey! I'm James Hudson
Web Designer

Visit us at

304 Elephanta Isle, Paris
10092, France

Message us

hello@beautiful.com (205) 544-6558

Profil

Foto saya
Semarang, Jawa Tengah, Indonesia

Kontak kami

Nama

Email *

Pesan *

Cari Blog Ini

Rapid Growth Rate
That means it’s not the sort of text you’d ever want to claim as your company’s own
Full Video Support
That means it’s not the sort of text you’d ever want to claim as your company’s own
Responsive Design
That means it’s not the sort of text you’d ever want to claim as your company’s own

Formulir Kontak

Name

Email

Pesan

Video

Satu Dekade Penegakan HAM di Indonesia: Isu Rasisme terhadap Perbedaan Identitas

Satu Dekade Penegakan HAM di Indonesia: Isu Rasisme terhadap Perbedaan Identitas

Oleh: Naufal Ridho Maulana

                      Konsep dan entitas dari HAM sebenarnya telah lama hadir sejak ribuan tahun silam. Beragam pendapat mengenai sejarah dari terciptanya konsep HAM secara internasional. Mengutip dari laman humanrights.com, menyatakan bahwa konsep HAM telah ada sejak tahun 500 SM melalui The Cyrus Cylinder pada tahun 539 SM. Pada saat ini The Cyrus Cylinder telah diakui sebagai piagam HAM pertama dan telah diterjemahkan kedalam 6 bahasa resmi oleh PBB. Sejarawan juga mengemukakan bahwa cikal bakal terbentuknya HAM sudah ada sejak era Raja Hammurabi tahun 1700 SM melalui 282 kode hukum Hammurabi. Pada faktanya, Hammurabi sendiri menggambarkan kode hukumnya sebagai ‘the laws of justice’ guna menciptakan keadilan bagi masyarakat Babylonia (Normand, R & Zaidi, S, 2008).

Secara garis besar, konsep dari HAM ada untuk menjamin dan melindungi hak-hak manusia secara umum, sesuai dengan prinsip manusia sebagai makhluk yang ‘merdeka dalam berpikir, merdeka dalam bertindak’. Entitas dari HAM bertujuan untuk menjamin kebebasan dan hak fundamental manusia, khususnya dalam berkehidupan dan berkebangsaan yang bebas. Secara historis HAM pada dunia internasional telah banyak dipengaruhi oleh budaya masyarakat Barat yang mengedepankan hak-hak sipil dan politik dari individu-individu. Dapat pula dikatakan bahwa HAM adalah produk Barat, karena pada abad ke 13 para filosof Barat telah memperkenalkan konsep kebebasan-kebebasan individu yang pada akhirnya telah dikembangkan menjadi paradigma-paradigma dalam ilmu sosial (Smith, Rhona K.M., 2005). Mengingat peradaban, serta tradisi intelektual telah berakar di Eropa dan secara luas telah menghegemoni tatanan dunia.

Salah satunya adalah pemikiran John Locke (1632-1704). Ia menyatakan bahwa manusia terlahir bebas dan setara. Tuhan telah menganugerahkan manusia hak dasar yang tidak dapat dicabut oleh siapapun, yakni hak untuk hidup, hak untuk bebas, dan hak untuk memiliki (Rosyidin,2020: 44). Setiap individu hidup bersama dengan bebas, setara, dan merdeka. Karena pada hakikatnya, setiap individu itu pun juga dianugerahi akal oleh Tuhan untuk memilah mana yang baik dan mana yang buruk, sehingga kumpulan individu ini sejatinya adalah masyarakat anarki yang beradab dan rasional (Rosyidin, 2020, melalui Schmandt, 2015:336). Gagasan Locke ini lah yang mengilhami sebuah negara atau bentuk pemerintahan yang memang sepatutnya menjaga hak-hak dasar manusia. Pemikiran John Locke telah menjadi cikal bakal paradigma liberalisme, yang bertujuan untuk menjamin hak-hak dasar manusia, dan pemikirannya turut menjadi pelopor HAM pada dunia internasional. Konsep HAM telah dibuat sedemikian rupa agar dapat di universalisasikan sebagai pedoman mutlak yang menjamin hak-hak fundamental manusia. Bicara mengenai HAM, konsep ini sejatinya turut mewadahi toleransi antar manusia diatas setiap perbedaan.

Tulisan ini membahas tentang HAM dan rasisme, yang mengambil beberapa kasus rasisme ataupun isu sentimen terhadap suatu kaum yang memiliki perbedaan identitas. Kasus yang akan dibahas adalah isu rasisme di Papua. Pada Agustus 2019 silam telah terjadi tindakan represif dan brutal terhadap mahasiswa Papua di pulau Jawa. Awalnya, pada Jumat, 16 Agustus,  sekelompok personel TNI telah menggedor gerbang asrama dengan alasan adanya bendera Merah Putih yang dipasang oleh pemerintah Kota Surabaya jatuh ke selokan. Setelah itu, secara bertahap Satpol PP dan beberapa ormas berdatangan untuk mengepung asrama itu sampai selama 24 jam. Bermacam makian bernada rasisme juga diteriakkan, dan bahkan mereka juga melempari batu ke arah asrama Papua (Tirto.id, 2019). Setelahnya pada 16 Agustus telah terjadi tindakan brutal aparat terhadap mahasiswa Papua yang berlokasi di asrama Papua kota Surabaya. Sekitar 43 mahasiswa Papua ditangkap yang pada saat sebelumnya sempat ditembaki gas air mata sebanyak 23 kali di asrama Papua. Dari tindakan ini dapat disimpulkan bahwa keberadaan orang-orang Papua masih termarjinalisasi di NKRI. Tidak jarang juga orang-orang Papua ditangkap dan menjadi tahanan politik, padahal mereka hanya berdialog untuk menyampaikan keresahan dan mengutarakan pemikirannya dalam beberapa situasi. Biarpun terkadang mereka juga didukung oleh kepentingan Separatisme, hal ini juga menjadi auto-kritik pemerintah untuk serius dalam mengatasi isu-isu Papua. Peran masyarakat juga diharapkan untuk aktif berpartisipasi dalam mengawal kebijakan pemerintah dan juga peka terhadap isu-isu rasisme yang memecah belah persatuan.

Sebagai perbandingan tulisan ini juga akan menyinggung realita yang terjadi di Eropa. Yang mana dominasi Eropa merupakan pusat dari peradaban Barat yang dinilai sudah maju, menghegemoni tatanan dunia, dan kredibilitasnya tidak perlu diragukan. Tulisan ini juga mengulas realita yang terjadi pada negara, seperti yang terjadi di Prancis dan Jerman. Yang menjadi ancaman adalah integrasi kelompok imigran berjalan lambat. Dalam hal ini, Jerman dan Prancis dituntut untuk mempercepat proses integrasi kelompok pendatang dengan masyarakat lokal, guna menghindari kesenjangan sosial ataupun untuk meredam pengaruh Xenophobia dan Euroscepticism. Pasca pemboman Paris 2015 lalu mengindikasikan bahwa integrasi antara kaum pendatang dengan penduduk lokal akan sulit diwujudkan dalam waktu dekat. Selebihnya, proses integrasi imigran dengan penduduk lokal tidak selalu tergantung kepada kebijakan, melainkan sangat bergantung pada konteks seperti dimensi ekonomi, sosial, dan budayanya. Peran media yang dipolitisasi juga bermain dalam meningkatkan rasa sentimen terhadap penduduk dengan identitas yang berbeda. Tidak hanya di Indonesia, di Eropa sekalipun politik identitas adalah hal yang lazim sebagai bagian dari ‘kebebasan berpendapat’ versi Barat. Peran media yang berpihak kepada partai politik sayap kanan turut memberikan propaganda kepada public. Pada akhirnya publik akan menilai bahwa kebijakan pemerintah yang bertujuan untuk membantu pengungsi adalah sebuah salah.

Namun, sebagai cara untuk melawan isu-isu xenophobia ataupun sentiment terhadap perbedaan ialah melalui aksi solidaritas dan kampanye media sosial. Salah satu contohnya adalah kampanye anti rasisme melalui klub-klu sepakbola papan atas di Eropa. Dan hal yang menarik dari penegakan HAM adalah kita telah mengetahui bahwa pada dewasa kini sudah banyak masyarakat dunia yang peka dan peduli dalam isu dan propaganda berbau rasisme yang memicu rasa sentimen terhadap suatu golongan. Aksi Black Lives Matter (BLM) telah menjadi api perjuangan dan solidaritas terhadap bangsa kulit hitam yang seakan-akan termarjinalisasi keberadaannya. Di Indonesia sendiri, realita yang terjadi kepada kaum minoritas seperti Papua (misalnya) telah memantik kepedulian pemuda-pemudi Indonesia untuk peka dan peduli dalam mengawal isu-isu rasisme yang kontra dengan entitas Bhineka Tunggal Ika. Kita bisa melihat aksi demo mahasiswa sejak September 2019 silam, yang salah satu tuntutannya adalah menekan pemerintah untuk tegas dalam menangani isu-isu di Papua dan juga menuntut pemerintah agar segera mengusut tuntas kasus-kasus HAM yang belum terselesaikan hingga kini.

Secara historis, tindakan rasisme dan pelanggaran HAM adalah salah satu cara dari suatu kelompok untuk mendominasi kelas. Asal muasal rasisme merupakan sebuah bentuk yang menciptakan kelas sosial dari sebuah individu ataupun kelompok. Dengan cara mengkoloni kelas, mendominasi kelas, dan mengkerdilkan ataupun memarjinalkan kaum minoritas. Di Indonesia sendiri kita bisa mengulas UU Kolonialisme Hindia Belanda pada masa lampau. Lalu, realita yang terjadi di Indonesia bisa kita lihat bahwa memang benar isu-isu rasial adalah hal yang sensitif. Belakangan ini sudah beberapa kali terlihat narasi-narasi yang dibawa oleh aktor politik di Indonesia seringkali menyinggung perbedaan latar belakang identitas (SARA). Salah satunya adalah kasus penghinaan Abu Janda terhadap Natalius Pigai, eks komisioner Komnas HAM melalui sosial media Twitter. Biarpun Abu Janda membela AM Hendropriyono, akan tetapi narasi yang telah disebarkan oleh Abu Janda mengarah kepada rasisme. Mengingat persepsi public terhadap tweet Abu Janda menimbulkan kontroversi karena dinilai mengarah kepada fisik dari Natalius Pigai. Melalui pernyataannya, Abu Janda bermaksud untuk mengkritisi pola pikir Pigai (CNN Indonesia, 2021). Tetapi makna dari ‘evolusi’ yang ditujukan kepada Pigai adalah hal yang sensitif karena mengarah kepada latar belakang Pigai yang berasal dari Papua. Kemudian kasus selanjutnya yaitu Ambrocius Nababan, seorang politisi Hanura, Ia dengan terang-terangan menghina Natalius Pigai dengan sebutan hewan. Sangat disayangkan bahwa politisi yang idealnya merakyat dan sepatutnya setia terhadap Pancasila memberikan contoh tidak baik. Ia juga membenarkan tindakan rasismenya sebagai hal yang lazim. 

Bicara mengenai peran para elit politik yang terkadang mempolitisasi isu-isu rasial dan perbedaan identitas. Perlu dipertanyakan apakah permainan politik mereka hanya sekedar adu kuat gagasan dan kekuasaan? Tanpa memikirkan isu-isu kesenjangan sosial. Lalu partisipasi dan konsistensi masyarakat diharapkan untuk terus bergerak aktif, tidak sekedar mencari atensi saja. Kita bisa melihat beberapa tahun lalu uang kertas pecahan Rp.10.000,00 menjadi guyonan yang konyol. Padahal, secara logika dengan menjadikan foto pahlawan Frans Kaisiepo adalah sebuah tindakan yang melanggar hukum. Guyonan ini pun pastinya akan memecah belah persatuan, khususnya dari masyarakat Papua. Karena identitas dari Frans Kaisiepo yang berasal dari Papua adalah hal yang sensitif untuk dibuat guyonan. Namun, di sisi lain sikap netizen yang membela Pigai karena dinilai berbau rasisme adalah hal yang baik. Karena dewasa kini, masyarakat mulai membuka matanya terhadap isu-isu rasial. Biarpun demikian, hal-hal sepele seperti candaan yang menyinggung identitas dan latar belakang mulai dianggap sebagai hal yang lazim. Realita ini merupakan pop culture di Indonesia, khususnya candaan mengenai entitas dari “Jamet”. Menjadikan pakaian dan penampilan seseorang bisa jadi merupakan tindakan rasis. Mengingat rasisme adalah hal yang luas. Dari realita ini dapat disimpulkan bahwa hal-hal kecil seringkali dianggap ‘sepele’, dan mungkin saja hal-hal ini merupakan tindakan rasisme yang mulai dianggap lazim oleh khalayak umum. Rasisme sama seperti virus, karena tidak dapat dihilangkan, dan hanya dapat dihindarkan.

Pada tahun 2018, Komnas HAM merilis sebuah survei yang berjudul “Survei Penilaian Masyarakat Terhadap Upaya Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis di 34 Provinsi” dan disimpulkan bahwa 81,9 persen responden mengatakan lebih nyaman hidup dalam keturunan keluarga yang sama, lalu sebanyak 83,1 persen mengatakan lebih nyaman hidup dengan kelompok etnis yang sama. Hal ini menandakan bahwa gap-sosial kita termasuk dalam kategori tinggi. Serta Komnas HAM merilis laporan pula bahwa dari tahun 2011-2018 laporan mengenai diskriminasi ras dan etnis mencapai 101 kasus diskriminasi

Selain itu, selama tahun 2019 saja, seluruh laporan pelanggaran HAM yang masuk melalui Komnas HAM mencapai 2.757 laporan. Hal ini senada juga dengan laporan Human Rights Watch (HRW) pada tahun 2020 yang memberi catatan terhadap lebih dari 100 negara salah satunya Indonesia. HRW memberikan catatan sebagai berikut:

During his first term, Jokowi took only small and tentative steps to advance human rights. Religious and gender minorities continue to face harassment. Authorities arrest and prosecute people under the blasphemy law, and all cases that went to trials resulted in prison terms. Jokowi also did not press for investigation of gross human rights abuses in Indonesia’s past. 

Bicara mengenai perbedaan identitas, faktor kesenjangan sosial yang juga dipengaruhi oleh perbedaan identitas sosial adalah suatu permasalahan yang belum dapat diselesaikan dalam waktu dekat di Indonesia. Dalam praktek kebijakan negara, tindakan diskriminasi ras sebagai aspek prioritas juga dinilai sulit. Hal ini disebabkan akibat tidak ada penempatan atau menyebutkan suatu ras ataupun etnis secara eksplisit sehingga pihak lain tidak merasa menjadi korban. Dalam hal ini terdapat dua hal penting untuk meninjau bagaimana rasisme diatur dalam konteks HAM. Yang pertama, seberapa efektifkah peran negara atau pemerintah dalam menindak tegas atau menghukum pelaku diskriminasi ras dan etnis. Yang kedua, seberapa efektifkah negara dalam melakukan pencegahan? Khususnya dalam Konvensi Anti Diskriminasi Ras dan Etnis yang dengan tegas menjelaskan sasarannya, salah satunya menyasar pada peran individu dan organisasi (Komnasham.go.id, 2020). Keberadaan Undang-undang Nomor 40 tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis juga dinilai belum memberi kepastian. Bahkan negara pun juga belum memiliki sikap yang tegas terhadap segala bentuk tindakan rasial (CNN, 2021). Dalam hal ini, efektivitas negara untuk menjamin pemenuhan, pengadilan, dan penyelenggaraan HAM telah diatur di dalam konstitusi, UU No.39 tahun 1999, UU No. 26 tahun 2000. Komnas HAM juga memiliki tupoksi dalam mandatory dan pengawasan terkait HAM. 

Bicara mengenai rasisme sebagai salah satu bentuk pelanggaran HAM, di dunia ini pun rasisme adalah hal yang mustahil menghilang. Rasisme pun bentuknya luas, bisa berupa dari entitas keagamaan, kelompok politik, budaya, dan penampilan, tak selalu bentuk fisik, suku, ataupun kelompok bangsa. Tindakan rasisme pun bisa terjadi secara horizontal, tidak selalu vertical seperti penindasan kelas. Standarisasi HAM dalam dunia internasional adalah melalui DUHAM yang telah diratifikasi oleh banyak negara. Dalam dunia internasional, entitas dari HAM secara universal merupakan hal yang relatif. HAM sifatnya pun dilematis, bisa meninjau dari sisi budaya, tradisi, ataupun kontra dengan entitas nilai dan moral. Menarik untuk diulas bahwa HAM juga terkonstruksi secara sosial, terbentuk atas realita yang terjadi. Isu rasial ditinjau dari filsafat politik berkaitan dengan ego manusia. Ego yang dimaksud adalah cara nafsu manusia yang ingin menindas tanpa ditindas. Lalu menciptakan hukum alam versinya sendiri yang mana telah menciptakan isu-isu rasial. Dan hal ini pun merupakan salah satu proses kapitalisasi. Kemudian peran negara sebagai institusi atau pihak yang berwenang dan memiliki tupoksi dalam penegakan HAM juga krusial. Karena efektifitasnya pun dibalikan kepada pemerintah, yaitu good will ataupun kebaikan dari pemerintahnya itu sendiri. Dan good will yang dimaksud merupakan akal dari manusia itu sendiri untuk menimbang mana baik dan mana benar. Sebagaimana yang tertuang dalam Surat At-tin, manusia diberikan mandat untuk mengelola alam semesta dengan akal rasionalitasnya.

Permasalahan HAM lain yang menyangkut rasisme adalah terkait dengan kerusuhan di Wamena pada 23 September 2019 yaitu akibat berita hoax tentang rasisme yang disampaikan oleh guru sekolah yang mengakibatkan 10 orang tewas, 80 mobil rusak, 30 motor rusak, 150 rumah dan ruko rusak akibat kerusuhan yang terjadi tersebut. (Tirto.id, 2019)

Singkatnya, keberadaan rasisme sama seperti virus. Ia tak akan pernah hilang, namun bisa dicegah. Isu rasisme dan belum terpenuhinya tuntutan HAM khususnya di Indonesia juga menjadi tantangan dalam menjaga persatuan dan kesatuan bangsa, sesuai dengan entitas Bhineka Tunggal Ika. Perlu diingat bahwa pergerakan beberapa politisi sayap kanan juga tidak sungkan untuk menggiring narasi-narasi atau opini yang mengarah terhadap perilaku rasial dan isu sentiment terhadap suatu kaum yang memiliki perbedaan latar belakang identitas sosial. Hal ini pun turut menjadi propaganda media yang akan menggiring opini negatif kepada orang-orang awam. Perlu diingat bahwa tindakan seperti politik identitas ataupun penggiringan isu sentiment bernada rasial masih dinilai lazim dalam kotornya permainan politik beberapa golongan. Ancaman ini bisa saja memantik perilaku masyarakat yang xenophobia, atau tidak berkenan terhadap keberadaan kaum minoritas di Indonesia dengan perbedaan latar belakang identitas yang mencolok. Kemudian peran dari negara, institusi, maupun pemerintah yang memang memiliki tupoksi dalam penegakan HAM juga diharapkan mampu mencapai output maksimalnya, dengan hasil nyata. Mengingat peranan pemerintah juga krusial dalam mengatasi isu-isu rasial dan bahkan permasalahan yang berkaitan dengan HAM. Faktor lain yang diharapkan mampu menjadi pelopor penegakan HAM adalah goodwill dari dalam diri manusia itu sendiri. Mengingat manusia dianugerahi Tuhan dengan akal sehatnya untuk memilah mana baik dan mana buruk.  Terlepas dari ego dan nafsu manusia, kita memang sejatinya bertugas untuk mengelola alam semesta dengan baik. 


Daftar Pustaka


CNN Indonesia, (2021). ‘Komnas HAM: Negara Belum Serius Hapus Rasial ke Orang Papua’. Melalui https://www.cnnindonesia.com/nasional/20210125151401-12-598091/komnas-ham-negara-belum-serius-hapus-rasial-ke-orang-papua. Diakses pada 13 Februari 2021.  

Humanrights.com, ‘A Brief History About Human Rights’. Melalui https://www.humanrights.com/what-are-human-rights/brief-history/. Diakses pada 13 Februari 2021.

Komnas HAM, (2020). ‘Rasisme dalam Konteks HAM’. Melalui https://www.komnasham.go.id/index.php/news/2020/6/17/1458/rasisme-dalam-konteks-ham.html. Diakses pada 14 Februari 2021. 

Komnas HAM, (2018). ‘Potensi Diskriminasi Ras dan Etnis Sangat Tinggi’.  https://www.komnasham.go.id/index.php/news/2018/11/19/687/potensi-diskriminasi-ras-dan-etnis-sangat-tinggi.html. Diakses pada 14 Februari 2021. 

Normand, R, dan Zaidi, S, (2008). 'Human Rights at the UN: The Political History of Universal Justice' (UN Intellectual History Project 2008), hlm. 12. 

Rosyidin, Mohamad, (2020). ‘Teori Hubungan Internasional: Dari Perspektif Klasik Sampai Non-Barat’. (Depok: PT. Rajagrafindo Persada).

Schmandt, H, (2015). ‘Filsafat Politik’. Terjemahan oleh Ahmad Baidlowi dan Imam Baehaqi. (Yogyakarta: Pustaka Belajar).

Smith, Rhona K.M., (2005). ‘Textbook on International Human Rights’. Edisi Kedua. (New York: Oxford University Press), hlm. 4.

Tirto.id, (2019). ‘Siklus Rasisme terhadap Mahasiswa Papua’. Melalui https://tirto.id/siklus-rasisme-terhadap-mahasiswa-papua-egA4. Diakses pada 14 Februari 2021. 

Tirto.id, (2019).’Komnas HAM: 10 Orang Tewas Diduga Ditembak dalam Kerusuhan Wamena’. Melalui Komnas HAM: 10 Orang Tewas Diduga Ditembak dalam Kerusuhan Wamena - Tirto.ID. Diakses pada 14 Februari 2021


Tidak ada komentar

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.