Hey! I'm James Hudson
Web Designer

Visit us at

304 Elephanta Isle, Paris
10092, France

Message us

hello@beautiful.com (205) 544-6558

Profil

Foto saya
Semarang, Jawa Tengah, Indonesia

Kontak kami

Nama

Email *

Pesan *

Cari Blog Ini

Rapid Growth Rate
That means it’s not the sort of text you’d ever want to claim as your company’s own
Full Video Support
That means it’s not the sort of text you’d ever want to claim as your company’s own
Responsive Design
That means it’s not the sort of text you’d ever want to claim as your company’s own

Formulir Kontak

Name

Email

Pesan

Video

Demokrasi Sebagai Retorika Politik, Bukan Agenda Politik

 “Demokrasi sebagai Retorika Politik, bukan Agenda Politik”
Oleh : Sarinah Wiwin Suwito K

Demokrasi hadir 'seolah' sebagai antonim dari aristokrasi, dimana dalam demokrasi mengedepankan kekuasaan rakyat, sementara dalam aristokrasi mengedepankan kekuasaan elit. Kekuasaan rakyat yang dimaksud dalam demokrasi adalah ketika rakyat memiliki hak yang sama dalam berpartisipasi, menyuarakan hak memilih dan dipilih serta ketika tersedianya ruang publik guna mengakomodir suara rakyat tersebut.
Indonesia sebagai Negara demokratis sudah mengalami banyak siklus dalam proses demokrasi. Siklus demokrasi Indonesia dapat dilihat dari segi historis dimana saat era-orde lama Indonesia menganut demokrasi terpimpin yang dicetuskan Sukarno sebagai demokrasi khas Indonesia. Demokrasi terpimpin melahirkan suatu keputusan dan pemikiran yang berpusat pada pemimpin Negara, hal ini seolah memunculkan paradoks bahwa demokrasi sebagai upaya untuk menempatkan rakyat sebagai pemegang kekuasaan tertinggi Negara bias karena keputusan dan pemikiran tersentralistik hanya pada pemimpin Negara.
Setelah era orde lama digantikan era orde baru, klaim sebagai Negara demokratis masih dipegang Indonesia. Namun pada masa itu timbul realita bahwa budaya politik dijabarkan sedemikian rupa sehingga Negara bertindak sebagai aktor tunggal dan sentral. Logika penempatan Negara sebagai aktor sentral terartikulasi secara tegas bagi sentralitas Negara dengan seluruh perangkat birokrasi dan militernya guna kepentingan pembangunan ekonomi dan politik. Stabilitas pembangunan ekonomi tersebut diidentikan dengan stabilitas nasional yang perlahan-lahan diperluas menjadi logika anti-kritik dan anti-konsep. Sebagai logika anti-kritik, stabilitas nasional dikaitkan dengan masalah keamanaan dan berfungsi membantu penyelenggaraan mekanisme kekuasaan Negara. Sebagai logika anti-konsep, stabilitas nasional ini dikaitkan dengan masalah legitimasi dan berfungsi mendukung seni mengelola otoritas kekuasaan Negara (Geertz, 1980). Yang terjadi adalah pembungkaman suara rakyat dan sentralisasi peran Negara dan orde baru berhasil melahirkan paradoks demokrasi baru, yakni demokrasi semu.
Era reformasi sampai saat ini melahirkan paradoks “demokrasi lebih baru”, dimana demokrasi berkembang bukan sebagai suatu idealisme dan agenda yang harus diperjuangkan, namun sebagai alat dan isu guna meraih kekuasaan. Era orde baru melahirkan banyaknya hujatan terhadap kultus individu Soeharto dan berbagai simbolnya. Namun hal yang amat disayangkan adalah ketika masuk era reformasi dan bahkan sampai saat ini sebagian masyarakat politik memperagakan simbolisasi-simbolisasi figur kepemimpinan yang membawa warna kultus individu dalam bentuk lain. Simbol-simbol politik orde baru bahkan seolah dihidupkan kembali menjadi potret kehidupan politik dan demokrasi yang paling benar. Berbagai upaya untuk membangun sentralisasi otoritas dengan mobilisasi simbol-simbol kharisma politik mulai dilakukan, dalam rangka memberikan kesan bahwa telah lahir sebuah potensi kepemimpinan baru yang sangat layak untuk memimpin Indonesia ke depan. Tidak menjadi sebuah persoalan apakah kharisma politik itu nyata atau semu, yang penting ada pesona yang ditawarkan sebagai sebuah komoditas politik.
Hal yang perlu difahami saat ini adalah bahwasanya demokrasi seharusnya menjadi sebuah proses dari tingkat individual, bukan semata-mata proses besar kelembagaan yang kasat mata. Budaya demokrasi harus diperkuat dengan pemahaman masing-masing individu dalam suatu Negara sebagai suatu kewajiban yang harus dibangun secara bersama-sama. Jika demokrasi Indonesia saat ini masih dirasa cacat, maka salah satu cara mendasar untuk memperbaikinya dimulai dari tingkat individual masyarakat untuk kemudian bersama-sama mengorganisir diri memperjuangkan demokrasi yang sesungguhkan. Demokrasi yang sesungguhnya memungkinkan masyarakat untuk beradu dalam tatanan ide bukan identitas.
Saat demokrasi sudah dijadikan sebuah agenda politik maka kesadaran yang dimiliki masing-masing individu tentang demokrasi akan dituangkan dalam bentuk konkret penempatan kuasa masyarakat atas Negara. Dengan demikian maka sentralisasi kekuasaan yang dinilai merugikan masyarakat dan membuat semu demokrasi dapat dihindarkan. Namun ketika demokrasi hanya sebatas retorika politik, maka demokrasi hanya digunakan sebagai alat mencari kekuasaan tanpa diwujudkan dalam usaha konkret mencapai demokrasi itu sendiri.
Demokrasi Indonesia yang sesungguhnya akan tercapai ketika masing-masing individu bisa mentoleransi perbedaan pendapat dan ketika keputusan publik dihasilkan dari partisipasi masyarakaat yang berkualitas guna menghasilkan suatu ide yang berkulitas pula. Demokrasi yang berkualitas juga akan terwujud ketika masing-masing individu telah memiliki keyakinan bahwa “Aku mungkin tidak setuju dengan pendapatmu, namun aku akan mati-matian berjuang agar kau bisa menyuarakan pendapatmu itu”.

Tidak ada komentar

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.